ryokotomo.com – Selain mahir dengan pedang katana, para Samurai Jepang masa lampau juga menguasai teknik memanah sambil berkuda. Teknik ini bukan hanya seni bertempur, tetapi juga sebuah ritual yang sarat makna. Yabusame sebagai warisan budaya Jepang, menawarkan cerita menarik tentang keberanian, keterampilan, dan spiritualitas yang masih hidup hingga hari ini.
Sejarah panjang panahan di Jepang mencakup banyak aspek kehidupan, baik untuk berburu maupun berperang. Salah satu teknik paling terhormat dalam sejarah militer Jepang adalah memanah dari atas kuda yang berlari kencang dikenal dengan nama tradisi yabusame. Selama bertahun-tahun, tradisi ini berevolusi dari sekadar teknik militer menjadi bagian integral dari budaya Samurai. Salah satu seni bela diri pertama yang dipelajari para Samurai adalah panahan berkuda atau dikenal sebagai “The way of the horse and bow.”
Tradisi Yabusame mulai dikenal pada masa Keshogunan Kamakura (1185-1333), ketika Minamoto Yoritomo menjadi Shogun pertama. Dia khawatir dengan kemampuan memanah para samurainya yang mulai menurun dan mengorganisir latihan yabusame untuk mengasah keterampilan bertempur mereka. Di bawah kepemimpinan Yoritomo, yabusame juga menjadi bagian dari ritual keagamaan di Kuil Tsurugaoka Hachimangu pada tahun 1187. Ritual ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan bertempur, tetapi juga untuk menguatkan kekuatan mental dan pengabdian religius para Samurai.
Selama periode Kamakura, hanya prajurit terbaik yang dipilih untuk menjadi pemanah yabusame dan menjadi bagian dari tradisi ini merupakan kehormatan besar. Mereka yang menunjukkan keterampilan memanah terbaik dianugerahi kain putih, simbol penghargaan tertinggi. Dalam pertempuran terkenal seperti Kurikara pada tahun 1183 dan Yashima pada tahun 1185, keterampilan memanah dari atas kuda memainkan peran penting dalam menentukan kemenangan para Samurai dari klan Minamoto.
Tradisi Yabusame bukan hanya latihan militer, tetapi juga ritual religius yang didedikasikan kepada para dewa. Ritual ini berdoa untuk perdamaian, panen melimpah, dan kesehatan masyarakat. Pada setiap pertunjukan yabusame, pemanah menunggang kuda dengan kecepatan tinggi sepanjang lintasan sekitar 255 meter, menembakkan panah ke tiga sasaran papan kayu. Panah yang digunakan berbentuk tumpul agar mengeluarkan suara nyaring saat mengenai papan, menambah unsur dramatis dan sakral dari ritual ini.
Penampilan yabusame saat ini masih mempertahankan elemen tradisionalnya. Para pemanah mengenakan topi kasa tradisional, kimono shozoku, dan pelindung lengan igote yang disulam dengan lambang keluarga mereka. Mereka membawa senjata seperti katana, busur, dan anak panah, menghidupkan kembali citra para Samurai masa lalu. Meskipun teknik ini mulai kehilangan popularitasnya setelah masuknya senjata api pada abad ke-16, tradisi yabusame dihidupkan kembali pada masa Edo (1603-1868) dan terus dilestarikan hingga hari ini.
Tradisi yabusame diselenggarakan di berbagai tempat di Jepang, seperti Tsuwano, Kyoto, Kamakura, Samukawa, dan Zushi. Dua sekolah terkenal, Takeda dan Ogasawara, masih aktif mengajarkan teknik yabusame. Sekolah Takeda, yang berdiri sejak akhir abad ke-12, mempertahankan tradisi dan nilai-nilai Samurai era Kamakura. Mereka mengadakan demonstrasi yabusame di berbagai lokasi seperti Kuil Meiji di Tokyo dan Kuil Kamigamo di Kyoto. Ogasawara, didirikan oleh Ogasawara Nagakiyo atas perintah Minamoto Yoritomo, juga memainkan peran penting dalam mempertahankan tradisi ini.
Untuk Informasi Unik dan Travel Jepang, selalu buka ryokotomo.comIkuti kami di Facebook, Twitter dan Instagram @ryokotomoid